Langit Yang Malu-Malu
Posted July 18, 2013
on:Rasa terima kasihku teramat sangat pada tuhan sang penguasa semesta.
Rasa ini memuncak walaupun aku dan kamu berpijak di bumi yang berbeda namun tetap di langit yang sama.
Jarak tak akan mampu membentengi mesra kata-kataku.
Meskipun jauhnya ragamu dari pandanganku, rasa hangat pelukmu masih terasa hangat di dalam kalbu.
Ada rasa takut jauh darimu.
Tapi hati ini telah jatuh pada puan yang pemalu.
Keberanian itu ada, karna rasa percaya adalah pondasi dari rasa sayangku.
Puan yang ku cinta seluas langit tuhan.
Ingatkah tentang langit memerah malu-malu yang dulu pernah aku ceritakan?
Betapa ia merona memandangi keintiman kita yang membuatnya cemburu merah padam.
Sungguh kebersamaan itu sanggup meruntuhkan langit, sehingga kita lupa waktu bahwa ia telah berubah warna menjadi biru malam.
Sore ini aku menyaksikannya lagi, puan.
Meskipun kita beradu kata di sudut bumi yang berjauhan.
Kemesraan kata-kata kita yang dihanyutkan angin menguap menjadi awan.
Membentuk gumpalan-gumpalan putih kapas, menyentuh langit senja.
Tak ada yang ditakutkan perihal jarak.
Karna kata-kata kita dibawa awan berarak.
Menyampaikan rindu melalui perantara ciptaan tuhan yang maha tahu.
Aku, kamu dan langit yang memerah malu-malu.
—–Teruntuk Fasyaulia dalam tulisan #DuetPuisi 🙂
1 | makhluklemah
July 19, 2013 at 11:46 am
Ful, puan itu apa? *sama sekali tak tahu* 😀
GustiFullah
July 19, 2013 at 6:17 pm
puan itu perempuan, Fer! Atau nyonya, lawan dari kata Tuan!
Pinjam buku Madre, Wooy!!! :’))