Gusti Fullah

Posts Tagged ‘duet puisi

Menemui Langit Yang Sama by Fasyaulia

Di mataku, sisa hujan semalam adalah keindahan yang bertepi pada sebongkah kenangan. Memaksa embun-embun untuk bertemu bersama pagi. Meninggalkan tuan yang semakin jauh melangkah pergi. Membohongi dunia pada curam nya kepedihan yang tak terhenti. Pada matahari, sisa hujan, dan pelangi yang membagi.

Di mataku, tak selamanya jarak adalah waktu yang melambat. Tuan mengenalkan ku pada sorotan matahari yang terikat. Cahaya nya menentu, jarak nya membisu, dan datang tepat waktu. Bukankah kita menginginkan itu?

Kita akhirnya bertemu pada satu lisan yang sama. Disaksikan senja yang membisu tak tertera. Di ujung keheningan yang mendera, ada asa yang menjadi kekal tak terhenti. Hingga kita tahu, kita menemui langit yang sama. Kamu menggoda nya hingga merah. Aku menanti hingga tak lagi cerah. Nikmatilah rasa ini yang tak pernah salah.

 

 

Langit Yang Malu-malu by Gusti Fullah

Rasa terima kasihku teramat sangat pada tuhan sang penguasa semesta.
Rasa ini memuncak walaupun aku dan kamu berpijak di bumi yang berbeda namun tetap di langit yang sama.
Jarak tak akan mampu membentengi mesra kata-kataku.
Meskipun jauhnya ragamu dari pandanganku, rasa hangat pelukmu masih terasa hangat di dalam kalbu.

Ada rasa takut jauh darimu.
Tapi hati ini telah jatuh pada puan yang pemalu.
Keberanian itu ada, karna rasa percaya adalah pondasi dari rasa sayangku.

Puan yang ku cinta seluas langit tuhan.
Ingatkah tentang langit memerah malu-malu yang dulu pernah aku ceritakan?
Betapa ia merona memandangi keintiman kita yang membuatnya cemburu merah padam.
Sungguh kebersamaan itu sanggup meruntuhkan langit, sehingga kita lupa waktu bahwa ia telah berubah warna menjadi biru malam.

Sore ini aku menyaksikannya lagi, puan.
Meskipun kita beradu kata di sudut bumi yang berjauhan.
Kemesraan kata-kata kita yang dihanyutkan angin menguap menjadi awan.
Membentuk gumpalan-gumpalan putih kapas, menyentuh langit senja.
Tak ada yang ditakutkan perihal jarak.
Karna kata-kata kita dibawa awan berarak.
Menyampaikan rindu melalui perantara ciptaan tuhan yang maha tahu.
Aku, kamu dan langit yang memerah malu-malu.

 

 

Sungguh Kamu by Fasyaulia

Sungguh, kata-kata mu adalah candu. Aku menemukan nya dalam sebongkah suara malam yang merdu. Menata nya kembali dalam hati yang sempat layu.

Sungguh, sekarang langit sedang menduduki kursi saksi. Melukiskan indah nya wajahmu diantara rasi. Mensisipkan bintang jatuh, ke jurang tak berpagar, hati.

Sungguh, bisikan mu menenggelamkan rasa pada kekosongan ruang. Laksana kunang-kunang, kamu adalah terang. Laksana sapaan siang, kamu adalah tuntunan pulang.

Bisakah aku meminta pada langit?

Tuk menyimpan sedikit bayang mu pada ku.

Tuk menggerakan hati agar tak kaku.

Tuk menemui di dalam mimpi yang berjejak.

Bisakah aku meminta pada langit?

Beri aku jalan seperti pelangi untuk berpijak di hati mu.

Walau sejenak, semua seolah dekat.

 

Langkah-langkah Harapan Dan Kamu yang Menjadi Titik by Gusti Fullah

Fasyaulia, yang susunan kata-katanya mampu merobohkan hati.

Bait-bait doa yang kamu kirim untukku telah sampai dalam lelapku. Betapa beruntungnya aku bisa menemukan perempuan semenakjubkan kamu.

Keinginanmu teramat mulia, Sya!
Setiap inchi kulitku merinding mendengar harapanmu. Satu per satu pori-poriku terbuka lebar seakan tak percaya bagaimana jadinya jika seluruh kulit di tubuhku ini menjadi halal untuk kau peluk.
Semalaman tubuhku gemetaran, seperti permukaan kolak yang mangkuknya disentil, hatiku bergelombang tak karuan.

Fasyaulia, ratu dari segala kata-kataku.

Dalam kehidupan, terutama cinta, selalu ada pertanyaan yang muncul satu-satu dengan jawabannya beribu-ribu.
Tapi Sya, sungguh dengan segala kejujuran yang aku punya, kehadiranmu di hidupku telah menghadirkan ribuan jawaban bahkan dari pertanyaan yang belum sempat aku ajukan.

Kamu adalah palu penghancur
Dari semua tanda tanya besar
Yang ada di hidupku
Sekarang, bahkan di hari esok yang kelabu

Dalam tiap kunyahan, dalam tiap helaan, dan di tiap tegukan pada sesendok kuah kolak racikan dari tangan calon ibu anak-anakku, yaitu kamu, ada manis harapan tentang kamu di masa depanku.

Kalau memang tuhan telah menjadikan nama kita sebagai pasangan di hari esok, semoga cerita ini menjadi panutan buat generasi setelah kita, bahwa ada dua manusia mampu menghadirkan cerita nan begitu elok. Kita!

Ya, kamulah tanda titik dari akhir cerita pencarian pasangan hidup.

Puisi ini ditulis pada Juli 2013 di bulan Ramadhan. Sangat menyenangkan bisa menulis puisi dan bekerja sama dengan “Ratu Kidung Berkerudung” Fasyaulia. Yaay!! Selamat menikmati puisinya, kawan. 🙂

Saat terbangun, matahari sudah tepat di atas ubun-ubun, membuat bayang-bayang sejajar dengan raga dimana di dalamnya penuh kebahagian yang menimbun.

Aku terlonjak hampir jatuh dari ranjang kayu, begitu tau kamu menanyakan sesuatu yang membuat awal hariku terasa baru.

Taukah kamu betapa berguncangnya duniaku ketika kamu menuliskan kemegahan melalui kata-kata, begitu bernyali kamu menyangkutpautkan aku dengan surga, karena yang masuk ke dalamnya hanya mereka-mereka yang teramat berharga.

Jangan berpikir bodoh, karena aku tidak hanya menjaga tapi juga merawat hingga raga tak lagi remaja. Kamu dan hatimu adalah dua hal di muka bumi yang paling takut aku lukai, apalagi sampai membuat hatimu patah aku sama sekali tidak bernyali. Agar kamu percaya, haruskah aku bersumpah menyebut nama tuhan sampai berkali-kali?

Dengan keyakinan untuk mencinta tanpa ada kata terbenam. Ya, hati dan jemarimu akan aku genggam. Meskipun diri kita menyimpan malu-malu yang terpendam.

—–Teruntuk Adzhanihani dalam duet puisi.

Fasyaulia, yang susunan kata-katanya mampu merobohkan hati.

Bait-bait doa yang kamu kirim untukku telah sampai dalam lelapku. Betapa beruntungnya aku bisa menemukan perempuan semenakjubkan kamu.

Keinginanmu teramat mulia, Sya!
Setiap inchi kulitku merinding mendengar harapanmu. Satu per satu pori-poriku terbuka lebar seakan tak percaya bagaimana jadinya jika seluruh kulit di tubuhku ini menjadi halal untuk kau peluk.
Semalaman tubuhku gemetaran, seperti permukaan kolak yang mangkuknya disentil, hatiku bergelombang tak karuan.

Fasyaulia, ratu dari segala kata-kataku.

Dalam kehidupan, terutama cinta, selalu ada pertanyaan yang muncul satu-satu dengan jawabannya beribu-ribu.
Tapi Sya, sungguh dengan segala kejujuran yang aku punya, kehadiranmu di hidupku telah menghadirkan ribuan jawaban bahkan dari pertanyaan yang belum sempat aku ajukan.

Kamu adalah palu penghancur
Dari semua tanda tanya besar
Yang ada di hidupku
Sekarang, bahkan di hari esok yang kelabu

Dalam tiap kunyahan, dalam tiap helaan, dan di tiap tegukan pada sesendok kuah kolak racikan dari tangan calon ibu anak-anakku, yaitu kamu, ada manis harapan tentang kamu di masa depanku.

Kalau memang tuhan telah menjadikan nama kita sebagai pasangan di hari esok, semoga cerita ini menjadi panutan buat generasi setelah kita, bahwa ada dua manusia mampu menghadirkan cerita nan begitu elok. Kita!

Ya, kamulah tanda titik dari akhir cerita pencarian pasangan hidup.

—–Teruntuk Fasyaulia dalam #DuetPuisi :’)

Kekasih yang namanya sering aku lafalkan dalam doa.
Tahukah kamu, bahwa merinduimu layaknya meracik sebuah kolak.

1.
Pertama-tama kasih, aku harus memotong-motong batang rindu ini menjadi beberapa bagian agar hatimu mudah mencerna. Dan seandainya kamu tau, secara utuh batang-batang rindu ini terlalu besar untuk ditampung dunia yang hanya sebatas langit bumi.

2.
Beberapa gula-gula kecurigaan kurebus dengan pikiran jernih sampai mendidih. Sampai pipi merona merah menahan malu, menyadari bahwa ketidakpercayaan adalah fatamorgana dari pikiran kotor agar hubungan ini tak selamanya menyatu.

3.
Tak hanya itu kekasih, satu per satu aku masukan berlembar-lembar daun kesetiaan dan secangkir kepercayaan utuh di dalamnya. Lalu diaduk perlahan-lahan searah jarum jam. Karena setahuku waktu akan mengantarkan kita pada jawaban yang sering kita pertanyakan tentang masa depan.

4.
Setelah dirasa semua pikiran baik itu tercampur apik secara menyeluruh, aku tambahkan harapan secukupnya. Tidak dengan komposisi berlebihan, karena segala sesuatu yang keterlaluan amatlah tidak baik buat kita manusia ini, kasih.

5.
Tidak lupa pula aku tambahkan santan ketabahan yang diambil dari sari-sari pelajaran masa lalu, berasal dari perempuan sebelum kamu yang melukai hatiku dengan parutan-parutan kemunafikannya.

6.
Semuanya dimasak hingga matang dalam satu wadah berwujud aku. Lelaki yang setiap waktunya dedikasikan untuk merindui perempuan semengaggumkan kamu.

7.
Kini rinduku siap kamu cicipi. Semuanya tentangmu di diriku selalu hangat untuk kamu hadapi. Percayalah, mungkin diriku persis semangkuk kolak penuh rindu yang selalu kamu tunggu dalam bedug maghrib di puasa tatap temu.

—–Teruntuk Fasyaulia dalam #DuetPuisi


Me and a book is a party. Me, a book and a cup of coffee is an orgy. --- Robert Fripp

Waktu Pembuatan

Di sini Sedia;

Sohiban Yuk !

No Instagram images were found.