Gusti Fullah

Hani

Posted on: July 13, 2013

Bagiku ini sudah seperti menjadi surga kecil, senderan pada kursi ruang tamu, selonjoran, tiupan Ac yang menghanyutkan dan setoples camilan cokelat. Aaahh nikmatnya. Kulepas balutan jilbab yang di bagian lehernya telah basah karena keringat sehabis jalan seharian, tertawa, saling toyor dan makan di kafe langganan bersama beberapa sahabat.

Aliran darah belum lagi sepenuhnya lancar, paru-paru belum sepenuhnya terisi oleh udara bersih ruang tamu, coklat belum sepenuhnya ditelan habis, dengan tiba-tiba teriakan mama terdengar dari ujung dapur dengan gema yang terpantul-pantul pada dinding keramik.

“HANIIII….. SINI KAMU HAN!! AYO HANI CEPETAN!!” dengan intonasi dan aksen kepanikan.

“IYA MAAA!! BENTAR!!” Kursi ruang tamu seperti memiliki daya rekat yang hebat, bahkan untuk bangkit darinya aku hampir memerlukan sepenuh tenaga yang aku miliki. “Oh singgasanaku” bergumam dengan langkah cepat menuju dapur.

“Iyaa maa.. Ada apaan sih teriak-teriak!?” jawabku sesampai di dapur.

“Itu… Han..!! Ituuu!!” mama menunjuk-nunjuk westafel penuh tumpukan piring kotor.

“Yaelah ma, kalo sekedar nyuci piring kan bisa ga pake teriak-teriak kan ma?”

“Bukan itu maksud mama!! Tuuh lihat, ada kecoak Hani… KECOAAK!! Usir Hani… Usir!! Mama merapatkan tubuhnya ke tubuh pendekku dengan tangan yang terus mengibas-ngibas ke arah westafel “husss… husss” kata mama.

“Yaelah ma, cuma makhluk seukuran ini doang masa takut. Sini Hani beresin” aku mengambil sapu ijuk di samping kulkas lalu bergegas ke arah westafel.

“Alah.. Daripada kamu Han! Takutnya kok sama Cicak!?” Balas mama. Dan aku terdiam.

BUUUK!!! “Yaah, meleset” pekikku. “Sekali lagi ya!”

“BUUUK!! BUUUK!!” dua pukulan maut dari tangan sakti milikku masih belum mampu melumpuhkan si kecil coklat Kecoak Rese!

“Ayoo Han!! Ayooo!!” Mama berteriak-teriak di belakangku mencoba memberi motivasi, tapi uiung-ujungnya malah ganggu”

“Psssst.. Iya mah sabar” Kataku dengan suara setengah berbisik dan kaki berjinjit mendekati si kecoa rese tersebut.

BUUUUK!!! “NAH!! KENA KAMU” Pekikku. Mama mendekat coba meyakinkan bahwa kecoa tersebut benar-benar telah mati. Belum sampai satu langkah mama mendekat, kaki kecoa tersebut malah bergerak. Mama histeris kaget dan melompat kebelakang.

“Tenang ma!” Dengan mengarahkan telapak tangan ke arah mama. Mencoba menenangkan. Buuuuk!!! Buuuuk!! Buuuuuk!!! Tiga pukulan maut dari sapu ijuk berhasil membuat si kecoa beristirahat dengan tenang di alamnya.

“Nih ma, kecoanya udah mati” kuangkat tinggi-tinggi ke arah mama dengan sungutnya yang kupegang diantara ibu jari dan telunjuk.

Mama mundur beberapa langkah dengan tangan yang mengibas-ngibas ke arahku “Buang Hani.. Buang!!” katanya.

Dan pada akhirnya, kecoa tersebut aku buang ke bak sampah di belakang rumah. Tidak lupa ritual dadah-dadah pada kecoa yang telah almarhum.

Dengan lari-lari kecil kearah dapur, mencuci tangan di westafel. Berniat melanjutkan prosesi relaksasi yang tertunda. aku kembali ke ruang tamu menyandarkan tubuh di pangkuan kursi kesayangan. Dengan mata yang setengah terpejam, tiba-tiba ada bunyi BLAAAAK!! di samping telingaku. Dengan suara parau aku berteriak, “CICAAAAAK!!! MAMAAAAAA SINI MAAAA!!!”

Dari arah dapur aku lihat mama menggenggam sapu ijuk ditangan kanannya menuju ruang tamu.

—-SELESAI AJA KALI YA? IYA!!—-

Satu kalimat tantangan dari si pendek Adzhanihani. “Badan kecoak itu hancur setelah dihantam sapu ijuk.” Sori ya tulisannya kurang oke dibaca, namanya juga belajar. :’)

4 Responses to "Hani"

Kyaaaaaaaaa keren, Gus! ><

Tapi ada dua hal yang kebalik di situ. Pertama, yang takut kecoak itu aku dan yang takut cicak itu mama. Kedua, AKOH LEBIH TINGGI DARI MAMA AKOH. AKOH TINGGI GUS AKOH TINGGI! Aku ngga sependek yang di bayangan kamu, kok. Sungguh……………….*gigit*

Kejadiannya pernah begitu, cuma si subjek dibalik. Kamu hebat bisa tau wooooowwww :O kamu kepoin aku ya wooooowwww :O

Kyaaaaaaaa juga! Makasih!

Aku? kepoin kamu? Heylooo!!!
aku ada, cuma tidak kerasa. makanya aku tau. *halaaaaah*

oh jadi kebalik? yaudah, jungkir aja ceritanya biar sesuai kenyataan. :’)

aku jangan digigit, ntar ketelen. sekedar info, aku ini enak, apalagi bagian hatinya. 😀

aku tunggu tulisan kamu yang lainnya, udah bingung mau komen apalagi di blog kamu. Isinya pujian semua. 😦

Ah, ngga mungkin, Gus. Aku yakin, kamu kepoin aku. Kan? Udah, ngaku aja. Aku ngga papa kok.

Hati kamu tinggal remah-remah, Gus. Mana enak? Hm?

Buat tulisan…………..doain aja aku dapet ide utuh buat nyelesein 3 draftnya. Buntu, nih. Pfftt. Terus, kamu juga harus siapin 3 komen berarti. Jangan muji mulu! Ngga boleh belajar jadi pendusta. Huf.

lah? malah maksa!? yang ngepoin kamu siapa?
tau nostradamus!?
nah, aku mulai curiga kalau dia itu murid aku. soalnya tebakan-tebakan aku–kadang–banyak yang bener!!

Hani? dapat ide utuh buat nulis?
YEEEEEEEE!!!! \(“^^)/
Iya aku doain deh! *komat kamit nguyah sirih*

Gusti Fullah mah bukan pendusta, kadang kejujurannya sering disalahtanggap kayak pendusta. #NahLo

sebagai adzhanihaniholic, aku bingung mau komen apa lagi. tapi kalo boleh bohong, tulisan kamu adalah hal yang paling “tidak aku harap”!! :’P

Tidak diharuskan memberi komentar, tapi kalau tidak memberi yaaaa... *asah golok*

Me and a book is a party. Me, a book and a cup of coffee is an orgy. --- Robert Fripp

Waktu Pembuatan

Di sini Sedia;

Sohiban Yuk !

No Instagram images were found.